Dua laki-laki itu bekerja di sebuah kantor yang sama. Namun keduanya berbeda dalam memandang keluarga.
Laki-laki pertama sangat mencintai keluarga. Saat-saat pulang kerja dan berkumpul keluarga di rumah adalah saat-saat yang dirindukannya. Hingga suatu hari ketika ia jatuh sakit, ia lebih memilih bed rest di rumah daripada dirawat di rumah sakit. "Di rumahku ada cinta yang membuat sakitku insya Allah lebih cepat sembuhnya."
Dan benar. Atas kehendak Allah, ia sembuh dengan cepat. Sakit memang memaksanya beberapa hari tidak masuk kerja. Namun sakit itu juga mengokohkan cintanya. Dalam pandangannya, istri yang merawatnya adalah perawat terbaik sedunia. Bubur yang dibuatnya adalah bubur cinta. Dan sapaan buah hati kecilnya adalah motivasi pemulihan fisik dan jiwa.
Laki-laki kedua tak suka berlama-lama di rumah. Rasanya bikin bete, katanya. Saat ia telah keluar dari rumah sakit karena suatu penyakit yang dideritanya, ia memaksa masuk kerja. "Di rumah malah stres," alasannya saat ditanya seorang teman mengapa tak istirahat di rumah saja. Mengapa sampai berkata seperti itu? Ternyata ia tak suka dengan istrinya yang "cerewet" dan terkesan kurang perhatian. Entah siapa yang mendahului, kabarnya mereka tak lagi saling cinta.
Kini kita hidup di sebuah masa yang kaya kesibukan. Kebutuhan hidup yang makin berkembang, perubahan zaman, hingga arus informasi "menuntut" kita menggeluti kesibukan demi kesibukan. Seringkali kita menjadi seperti mesin; semakin banyak beraktifitas semakin panas. Panas jiwa kita, gersang ruhiyah kita. Jika pada kondisi demikian kita memposisikan keluarga sebagai sahara lain yang menguras tetes-tetes ketenangan, betapa hidup akan menjadi sangat runyam.
Berbahagialah jika keluarga kita adalah rumah yang menyejukkan. Jika kita memandang keluarga sebagai surga dunia. Dan begitulah mestinya keluarga Muslim mencontoh keluarga Nabi. "Baiti jannati." Rumahku adalah surgaku. Betapapun cadasnya kehidupan di luar sana, saat keluarga menjadi surga dunia, tak masalah seorang Muslim menghadapinya. Betapapun panasnya medan perjuangan, keluarga adalah penetralisir dan penyejuknya.
Ketika Rasulullah "ketakutan" dengan Jibril yang baru saja menyampaikan wahyu, sang istri Bunda Khadijah menyelimuti, menenangkan dan memotivasinya. Ketika Rasulullah dihadapkan pada perjuangan besar menyebarkan Islam, lagi-lagi sang istrilah yang menghamparkan seluruh hartanya untuk mendukung dakwah. Saat Rasulullah menghadapi ancaman, bunda Khadijah dengan kedudukannya yang mulia menjadi "pelindung" yang memperkuat posisi kemananannya. Pendek kata, Khadijah selalu ada untuk Rasulullah, demikian pula cinta Rasulullah selalu hadir untuk Khadijah; bahkan meskipun setelah beliau tiada.
Rumah tangga Rasulullah dengan istri-istrinya yang lain juga begitu; indah dan menyejukkan selalu. Kadang ada cemburu, namun ia adalah bumbu yang membuat cinta semakin mesra. Baiti jannati kemudian diucapkan oleh lisan suci Nabi, menggambarkan betapa rumah tangga idealnya adalah sumur kebahagiaan di tengah keringnya kemarau kehidupan, taman yang menyejukkan di tengah penatnya perhelatan sejarah, oase di tengah gurun.
Keluarga akan menjadi surga atau neraka, semuanya berawal dari kita. Dari persepsi kita, dari cara pandang kita, dari pemahaman dan bagaimana kita memposisikan. Bukan dari menyalahkan pasangan. Maka mari kita menumbuhkan komitmen, bahwa kita akan memberikan yang terbaik untuk pasangan kita, untuk keluarga kita. Kita berkomitmen menjadi yang terbaik bagi mereka. Kita berkomitmen mempersembahkan cinta buat mereka. Dan biarlah doa-doa kita naik kepada Allah, meminta ijabahnya untuk juga memperbaiki pasangan dan keluarga kita. [Muchlisin]
sumber : http://www.bersamadakwah.com/2012/05/rumah-yang-menyejukkan.html
0 comments:
Post a Comment