Ditulis oleh Sukmareni
“Kamia Ndok Pintar”
Hari beranjak siang ketika tim Warsi,
Karlina -guru rimba dan Abdi —pendamping Orang Rimba-- serta tamu dari
Jakarta, meninggalkan Simpang Dialas, kawasan hutan tempat Kelompok
Orang Rimba Terap, pimpinan Tumenggung Marituha hidup bersama anggota
kelompoknya. Karin -sapaan guru rimba-- minggu lalu mendapatkan tugas
untuk mengajar di kelompok itu.
Jumat, 22 Juli 2011 12:04 |
“Kamia Ndok Pintar”
Memperoleh
pendidikan sangat sulit bagi sebagian anak-anak warga Suku Anak Dalam
(SAD). Anggota lembaga konservasi Warsi menceritakan perjuangan
anak-anak rimba itu. Seperti apa? Berikut laporan Sukmareni, anggota tim
Warsi kepada Jambi Independent.
Hanya
beberapa hari karena ia harus memfasilitasi anak-anak rimba di Kedudung
Muda Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD)-- sekitar tiga jam berkendara
dari simpang Alas, untuk mengikuti sekolah kelas jauh.
Kala
meninggalkan kelompok itu, 10 orang rimba dewasa mengawal tim Warsi
hingga ujung kawasan HTI Wana Perintis. HTI Wana Perintis merupakan HTI
yang menurut klaim adat Orang Rimba merupakan wilayah hidup mereka.
Klaim ini juga yang belakangan sering menimbulkan konflik antara Orang
Rimba dengan pihak perusahaan. Pengawalan yang dilakukan Orang Rimba,
mereka ingin memastikan tim Warsi dapat keluar dengan selamat, seiring
dengan memanasnya konflik Orang Rimba dan pihak penguasa HTI.
Tanpa
mereka sadari, di bagian belakang, tiga bocah rimba Kalitap (10),
Besiap Bungo (7) dan Moruya (9), membuntuti mobil yang berjalan pelan
itu di jalan tanah yang di kiri kanannya sudah gundul, karena land
clearing yang dilakukan perusahaan. Namun tetap saja langkah kecil
mereka tertinggal dan kehilangan mobil buruan mereka.
Ketiga
bocah itu tetap berjalan hingga malam menjelang. Di dekat pabrik sawit
PT Emal, sekitar 10 jam jalan kaki dari tempat tinggal mereka, ketiga
bocah memutuskan untuk istirahat. Bekal mi tiga bungkus dan dua bungkus
roti yang mereka bawa, menjadi menu mereka malam itu. Di bawah
pepohonan sawit ketiga bebudak -sebutan orang rimba untuk anak-anak--
itu tertidur di atas tanah beratapkan langit, sarung yang mereka bawa
menjadi pembungkus tubuh dari serangan angin malam. Untung saja malam
itu tidak turun hujan.
Keesokan
paginya, ketiga budak rimba bersepakat untuk melanjutkan perjalanan
seusai sarapan pagi dengan sisa roti semalam. Tujuan mereka satu,
bertemu lagi dengan tim Warsi untuk melanjutkan pelajaran mereka tempo
hari. Ketiga bocah beriringan, terus menelusuri jalanan kebun sawit dan
kemudian masuk ke desa hingga akhirnya setelah empat jam mereka
berjalan sampailah mereka di Pauh, tepi jalan besar yang menghubungkan
Sarolangun-Jambi.
Di
sana, ketiga bocah mencoba meminjam telpon kepada seorang kenalan yang
ditemui di Pauh. Mereka mencoba menelpon Fadli-pengemudi-- Warsi yang
membawa tim Warsi. Selama di Simpang Alas, hanya nomor Fadli yang bisa
dihubungi, sehingga anak-anak ini hanya mencatat nomor Fadli. Namun apa
daya, sinyal yang hilang timbul menyebabkan mereka tak pernah tersambung
dengan tim Warsi.
Sejenak
ketiga bocah itu bimbang bagaimana cara menemukan tim Warsi, sementara
di sisi lain mereka tidak mau kembali ke rombongannya, mereka tetap
ingin “tokang” (pandai) membaca, menulis dan berhitung. Selama ini,
memang ketiga bocah itu termasuk murid-murid yang yang diajarkan Warsi
sejak 2008 silam, ketika sudah ada kesepakatan dengan Tumenggung untuk
adanya pendidikan di kelompok Terap. Terap merupakan kelompok Orang
Rimba yang baru pada 2008 silam mau menerima pendidikan alternatif yang
diberikan Warsi.
Namun
keterbatasan tenaga pengajar dan banyaknya kelompok Orang Rimba yang
harus dijangkau Warsi, kelompok ini, dikunjungi hanya beberapa hari
dalam sebulan. Sementara di sisi lain, anak-anak rimba di kelompok ini
sangat bersemangat untuk dibekali pengetahuan tentang huruf dan abjad
serta merangkainya menjadi kata. Ini juga yang membawa Kalitap dan dua
rekannya untuk menyusul tim Warsi supaya mereka bisa diajarkan kembali,
hingga mereka mahir membaca dan menulis serta berhitung.
Perburuan
mereka yang gagal menemukan tim Warsi di hari kedua, di tengah keraguan
dan perjalanan panjang yag telah mereka tempuh, Moruya mengambil
komando. “Awak ka SPI, mungkin kanti yoi di sana (kita ke SPI mungkin
mereka di sana),” ujar Maroya dan langsung diiyakan oleh Besiap. Walau
mereka tahu, pilihan itu mengharuskan mereka berjalan sangat jauh.
Pauh-SPI jika menggunakan kendaraan roda empat, menghabiskan waktu tiga
jam perjalanan, apalagi jika berjalan kaki.
Namun
semangat “kamia ndok pintar” kembali menggerakkan langkah kaki
anak-anak ini menyusuri jalan desa, hingga sore menjelang mereka sampai
di Simpang PT Emal—perkebunan sawit, sekitar 10 km dari Pauh. Di sebuah
pos ronda ketiga bocah ini bermalam. Tidak ada makan malam hari itu,
dengan perut kosong ketiga bocah ini melelapkan mata. Bagi Orang Rimba,
sudah terbiasa untuk tidak makan seharian, masa remayo (masa paceklik)
sering kali menghampiri kehidupan mereka terutama sejak semakin tipisnya
sumber daya alam untuk mendukung kehidupan mereka.
Keesokan
paginya, ketiga bocah itu kembali berjalan, beruntung di tengah jalan
ada yang memberi tumpangan. Di bak terbuka sebuah Colt Diesel, senyum
para bocah ini mengembang, harapan mereka untuk bertemu tim Warsi hampir
jadi nyata. Dua kali mereka berganti tumpangan dan kemudian melanjutkan
dengan berjalan kaki, Sabtu (17/7) lalu, jam 8 malam akhirnya ketiga
bocah ini sampai di kantor lapangan Warsi.
Abdi
yang paling akrab dengan rombong Terap ini, tertegun melihat kehadiran
ketiga bocah yang sudah tiga hari lalu dia tinggalkan. Malam itu, ketiga
anak ini disuguhi makanan, dan disuruh istirahat di dalam kantor
lapangan. Ketika mereka masuk ke dalam kantor, mereka malu dengan tas
butut yang mereka bawa, dan memilih meninggalkannya di luar kantor,
hanya mengambil isinya, sarung dan benda yang terbungkus dalam sarung
itu. “Ketika dia berjalan itu, sarungnya terlepas dari genggaman Besiap,
sehingga buku dan pena dalam sarung itu berceceran, saya benar-benar
terharu, ternyata mereka menyusul kami karena masih ingin belajar,”
sebut Abdi. Tak ada baju yang mereka bawa, hanya sarung dan buku serta
pena.
Terbukti malam
itu, ketika disuruh masuk ke kamar, anak-anak itu malah menyodorkan
bukunya pada Abdi, dan meminta Abdi untuk mengajari mereka membaca.
“Meski sudah menempuh perjalanan jauh dan tidak makan dua hari, mereka
masih mau belajar, ya jadilah kami belajar hingga larut,” ujar Abdi.
Karena
keesokan harinya Abdi ada keperluan ke Jambi, Abdi tidak tega untuk
tidak memenuhi keinginan mereka belajar, sementara Karin sudah harus
menjalankan tugasnya di kelompok lain. Ketiga anak ini pun dibawa ke
Jambi, tentu sebelumnya Abdi sudah menanyakan kepada anak-anak ini
apakah orang tuanya sudah di kasih tahu. “Kamia dah cakopkan ka induk,
ndok pergi belajor (kami sudah izin pada induk, kami mau pergi belajar,”
sebut Besiap. Jadilah ketiga bocah itu nangkring di boncengan Abdi
menempuh perjalanan panjang enam jam bersepeda motor.
Mengapa
mereka mau jauh-jauh belajar sampai ke Jambi? “Kamia ndok pintar, jiko
dapat surat dari Ationg (staf HTI Wana Perintis yang sering berhubungan
dengan Orang Rimba terap, red) kami depot beco,” kata Moruya mantap,
meski ia masih mengenakan baju yang dipakainya sejak minggu lalu.
Ketika
tengah belajar, telepon genggam Abdi berdering, ternyata di sebrang
sana, kakak Besiap Bungo mengkhawatirkan adeknya. Abdi pun menyatakan,
mereka baik-baik saja dan akan mengantar mereka kembali ke Terap pada
hari kamis, kemudian menyerahkan telepon itu pada Besiap. Dengan enggan
Besiap mengambil telepon itu dan berbicara sepatah dengan kakaknya,
seolah ia takut disuruh pulang dan kemudian meninggalkan pelajarannya.
Selama empat hari di Jambi, ketiga bocah itu belajar tiada henti. Bahkan
ketika malam sudah larut, Besiap masih sibuk menulis di selembar
kertas, rupanya ia tengah menulis surat untuk Abdi.
“Abedi..selama
tinggal, Kamis kamia ndok balek, tolong jaga hutan rimba kamia,”
demikian isi kertas yang ditulis Besiap yang ditempelkannya di pintu
kamar Abdi tempat mereka menginap selama di Jambi.
Sungguh
semangat belajar yang patut diacungi jempol dan ditiru anak-anak
lainnya, terutama yang memiliki fasilitas lengkap dan mudah mengakses
pendidikan. Bagi Orang Rimba pendidikan masih baru, apalagi kelompok
Terap. Alasan Tumenggung dan rerayo (tokoh) Orang Rimba di sana,
pendidikan merupakan budaya luar dan tidak sesuai dengan mereka.(*)
sumber : http://www.jambi-independent.co.id
sumber : http://www.jambi-independent.co.id
0 comments:
Post a Comment