Alhamdulillah, puji syukur pada Allah pemberi berbagai
macam nikmat. Shalawat dan salam senantiasa dipanjatkan pada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Setiap saat kita telah mendapatkan nikmat yang banyak dari Allah,
namun kadang ini terus merasa kurang, merasa sedikit nikmat yang Allah
beri. Allah beri kesehatan yang jika dibayar amatlah mahal. Allah beri
umur panjang, yang kalau dibeli dengan seluruh harta kita pun tak akan
sanggup membayarnya. Namun demikianlah diri ini hanya menggap harta saja
sebagai nikmat, harta saja yang dianggap sebagai rizki. Padahal
kesehatan, umur panjang, lebih dari itu adalah keimanan, semua adalah
nikmat dari Allah yang luar biasa.
Syukuri yang Sedikit
Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).
Hadits ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri
rizki yang banyak, rizki yang sedikit dan tetap terus Allah beri sulit
untuk disyukuri? Bagaimana mau disyukuri? Sadar akan nikmat tersebut
saja mungkin tidak terbetik dalam hati.
Kita Selalu Lalai dari 3 Nikmat
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa nikmat itu ada 3 macam.
Pertama, adalah nikmat yang nampak di mata hamba.
Kedua, adalah nikmat yang diharapkan kehadirannya.
Ketiga, adalah nikmat yang tidak dirasakan.
Ibnul Qoyyim menceritakan bahwa ada seorang Arab menemui Amirul
Mukminin Ar Rosyid. Orang itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin. Semoga
Allah senantiasa memberikanmu nikmat dan mengokohkanmu untuk
mensyukurinya. Semoga Allah juga memberikan nikmat yang engkau
harap-harap dengan engkau berprasangka baik pada-Nya dan kontinu dalam
melakukan ketaatan pada-Nya. Semoga Allah juga menampakkan nikmat yang
ada padamu namun tidak engkau rasakan, semoga juga engkau
mensyukurinya.” Ar Rosyid terkagum-kagum dengan ucapan orang ini. Lantas
beliau berkata, “Sungguh bagus pembagian nikmat menurutmu tadi.” (Al Fawa’id, Ibnul Qayyim, terbitan, Darul ‘Aqidah, hal. 165-166).
Itulah nikmat yang sering kita lupakan. Kita mungkin hanya tahu
berbagai nikmat yang ada di hadapan kita, semisal rumah yang mewah,
motor yang bagus, gaji yang wah, dsb. Begitu juga kita senantiasa
mengharapkan nikmat lainnya semacam berharap agar tetap istiqomah dalam
agama ini, bahagia di masa mendatang, hidup berkecukupan nantinya, dsb.
Namun, ada pula nikmat yang mungkin tidak kita rasakan, padahal itu juga
nikmat.
Kesehatan Juga Nikmat
Bayangan kita barangkali, nikmat hanyalah uang, makanan dan harta
mewah. Padahal kondisi sehat yang Allah beri dan waktu luang pun nikmat.
Bahkan untuk sehat jika kita bayar butuh biaya yang teramat mahal.
Namun demikianlah nikmat yang satu ini sering kita lalaikan.
Dua nikmat ini seringkali dilalaikan oleh manusia –termasuk pula hamba yang faqir ini-. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, ”Seseorang tidaklah
dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa
yang memiliki dua nikmat ini (yaitu waktu senggang dan nikmat sehat),
hendaklah ia bersemangat, jangan sampai ia tertipu dengan meninggalkan
syukur pada Allah atas nikmat yang diberikan. Bersyukur adalah dengan
melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan Allah.
Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, maka dialah yang
tertipu.” (Dinukil dari Fathul Bari, 11/230)
Rizki Tidak Hanya Identik dengan Uang
Andai kita dan seluruh manusia bersatu padu membuat daftar nikmat Allah, niscaya kita akan mendapati kesulitan. Allah Ta’ala berfirman,
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن
تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ
كَفَّارٌ( إبراهيم
“Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah
dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan
banyak mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).
Bila semua yang ada pada kita, baik yang kita sadari atau tidak,
adalah rizki Allah tentu semuanya harus kita syukuri. Namun bagaimana
mungkin kita dapat mensyukurinya bila ternyata mengakuinya sebagai
nikmat atau rejeki saja tidak?
Saudaraku! kita pasti telah membaca dan memahami bahwa kunci utama
langgengnya kenikmatan pada diri anda ialah sikap syukur nikmat. Dalam
ayat suci Al Qur’an yang barangkali kita pernah mendengarnya disebutkan,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.”
(QS. Ibrahim: 7). Alih-alih mensyukuri nikmat, menyadarinya saja tidak.
Bahkan dalam banyak kesempatan bukan hanya tidak menyadarinya, akan
tetapi malah mengingkari dan mencelanya. Betapa sering kita mencela
angin, panas matahari, hujan dan berbagai nikmat Allah lainnya?
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Al Fudhail bin ‘Iyadh mengisahkan:
“Pada suatu hari Nabi Dawud ‘alaihissalam berdoa kepada Allah: Ya Allah,
bagaimana mungkin aku dapat mensyukuri nikmat-Mu, bila ternyata sikap
syukur itu juga merupakan kenikmatan dari-Mu? Allah menjawab doa Nabi
Dawud ‘alaihissalam dengan berfirman: “Sekarang engkau benar-benar telah
mensyukuri nikmat-Mu, yaitu ketika engkau telah menyadari bahwa segala
nikmat adalah milikku.” (Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Imam As Syafii berkata, “Segala puji hanya milik Allah yang satu saja
dari nikmat-Nya tidak dapat disyukuri kecuali dengan menggunakan nikmat
baru dari-Nya. Dengan demikian nikmat baru tersebutpun harus disyukuri
kembali, dan demikianlah seterusnya.” (Ar Risalah oleh Imam As Syafii
2)
Wajar bila Allah Ta’ala menjuluki manusia dengan sebutan “sangat
lalim dan banyak mengingkari nikmat, sebagaimana disebutkan pada ayat di
atas dan juga pada ayat berikut,
وَهُوَ الَّذِي أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ إِنَّ الْإِنسَانَ لَكَفُورٌ
“Dan Dialah Allah yang telah menghidupkanmu, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (lagi), sesungguhnya manusia itu,
benar-benar sering mengingkari nikmat.” (QS. Al Hajj: 66)
Artinya di sini, rizki Allah amatlah banyak dan tidak selamanya
identik dengan uang. Hujan itu pun rizki, anak pun rizki dan kesehatan
pun rizki dari Allah.
Surga dan Neraka pun Rizki yang Kita Minta
Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah berputar pada harta dan
makanan. Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti
itu. Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang Allah berikan
pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah janjikan pada
hamba-hamba-Nya yang sholeh. Surga adalah nikmat dan rizki yang tidak
pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan
tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rizki yang Allah
sebutkan bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan adalah
surga itu sendiri. Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,
لِيَجْزِيَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya
ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
قَدْ أَحْسَنَ اللهُ لَهُ رِزْقًا
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang
saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 11)
Teruslah bersyukur atas nikmat dan rizki yang Allah beri, apa pun itu
meskipun sedikit. Yang namanya bersyukur adalah dengan meninggalkan
saat dan selalu taat pada Allah. Abu Hazim mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” Mukhollad bin Al Husain mengatakan, “Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.” (‘Iddatush Shobirin, hal. 49, Mawqi’ Al Waroq)
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber:
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 comments:
Post a Comment