Ditulis Oleh :Nur Afilin, Pada Tanggal : 15 - 08 - 2012 | 10:44:56
Tak
hanya QS Al-Baqarah: 183, di bulan Ramadhan biasanya satu hewan ini pun
ikut naik daun. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan mengapa kita perlu
belajar dari hewan ini. Mari sama-sama kita bercermin darinya.
Ulat pun Taat
Sudah
menjadi sunnatullah bahwa ulat memiliki siklus hidup tertentu. Sama
dengan manusia dan makhluk Allah SWT lainnya, tentu siklus hidup ini
ialah out of control, kekuasaan mutlaknya hanya di tangan
Allah. Dan tahapan ketika menjadi kepompong itu amat menarik jika kita
cermati. Coba kita tilik ayat Allah berikut:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. (QS Al-Israa’ [17]: 44)
Disebutkan
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir banyak riwayat terkait pembahasan ayat
di atas. Namun, secara singkat, kesimpulannya ialah bahwa ternyata
segala benda yang bernyawa maupun tidak bernyawa bertasbih kepada Allah.
Sehingga tak heran kalau dalam beberapa riwayat Rasulullah SAW sebut
kalimat tasbih itu sebagai dzikirnya semua makhluk di langit dan di
bumi.
Lebih
lanjut, Ibnu Katsir juga menyebutkan persoalannya ialah manusia memang
tidak diberi kemampuan untuk mendengar tasbihnya tumbuhan, hewan, dll.
Dan memang itu bukanlah hal yang terpenting. Maka, banyak kalangan
menilai bahwa siklus hidup dan insting hewan, misalnya, sebagai dua buah
bukti tasbihnya hewan atau tumbuhan kepada Allah. Logis. Karena apakah
mereka (hewan dan tumbuhan) itu berkuasa menciptakan sendiri siklus
hidup dan insting yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan? Tentu
tidak. Sejatinya mereka hanya menjalani apa yang telah Allah gariskan.
Ketundukan dalam menjalani sunnatullah inilah yang sering disebut
sebagai tasbihnya mereka kepada Allah.
Sehingga,
masa menjadi kepompong bagi ulat ialah masa ia menjalani perintah
sekaligus sunnatullah. Ia amat taat, tak ada sedikit pun kemauan untuk
berontak kepada-Nya. Oleh karenanya, ulat yang secara kasat mata saja
ternyata sedemikian taat, bagaimana dengan kita? Bolehlah ia itu buruk
secara fisik dan rakus dalam perangai. Namun, bukankah saat ini juga tak
sedikit manusia yang lebih rakus daripada ulat ini. Tak peduli halal
atau haram, langsung tikam. Tidak jadi soal orang lain sakit, yang
penting diri sendiri bangkit. Lebih parah lagi, tak sedikit Muslim yang
tanpa udzur syar’i meninggalkan puasa Ramadhan yang wajib hukumnya.
Lalu, masih pantaskah manusia macam ini dikatakan lebih mulia daripada
ulat?
Puasa Ulat
Seperti
sudah disinggung sebelumnya, ada fase menjadi kepompong dalam siklus
hidup ulat. Di fase inilah perilaku yang sebelumnya rakus, tak kenal
malu, dan merugikan orang lain mulai hilang. Yang ada kemudian ialah
entitas baru yang amat tunduk kepada Allah SWT. Ia tak lagi makan
sembarangan. Mungkin hanya air embun pagi hari yang jadi sumber
kehidupannya. Ia pun tak lagi berkeliaran meresahkan pemilik tanaman.
Dikatakan bahwa fase kepompong ini berkisar 16-21 hari. Lebih singkat
daripada puasa Ramadhan kita yang 29 atau 30 hari, bukan? Namun, coba
kita tengok hasilnya.
Lepas
masa kepompong, maka tak ada lagi keburukan menempel dalam pribadi
makhluk bernama kupu-kupu. Yang ada ialah keanggunan, kebersihan,
ketertiban, dan ketaatan. Kupu-kupu tidak lagi seperti ulat yang telah
menjadi masa lalu kelamnya. Biarlah dulu dihina, namun sekarang dipuja
lantaran keindahannya. Tiada lagi sembarang makan, karena kini hanya
sari bunga sebagai santapan. Tidak pula kini merugikan lantaran sekarang
justru banyak dicari orang. Sungguh perubahan drastis yang luar biasa.
Oleh karena itu, tidakkah kita menginginkan ibadah Ramadhan kita (khususnya puasa)
berhasil mengubah pribadi kita? Tidakkah kita malu jika selepas
Ramadhan alih-alih peningkatan amal, justru kemerosotan ibadah kembali
kita jalani? Maka, tidak ada pilihan lain bagi kita, selain memanfaatkan
momen-momen terakhir Ramadhan secara optimal. Salah pemanfaatan bisa
berujung pada buramnya hari-hari pasca Ramadhan nanti. Tetap kobarkan
semangat optimalisasi ibadah di bulan suci. Tak ada jaminan tahun depan
Ramadhan bisa kita cicipi. Semoga ridho Illahi selalu menyertai. Aamiin. (Nur Afilin/Wasathon.com)
0 comments:
Post a Comment