Kota batik Pekalongan di pertengahan
tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah enam
pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan
pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di
tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas
pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam
polisi dengan pangkat brigadir.
- Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi
hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta
surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik
kaca , jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu.
Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya
Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya
berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya
dalam sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh
lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah
Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir ,
orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke
pekalongan yang jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes , Brigadir
Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden
di ujung jalan , namun sultan menolak.
“ Ya ..saya salah , kamu benar , saya
pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir
Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon
maaf!” Brigadir Royadin heran , sinuwun tak kunjung menggunakan
kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu
, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak
melakukannya.
“Baik..brigadir , kamu buatkan surat itu ,
nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun
meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan
tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak
memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak
boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan
hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah
katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak
mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan , rebuwes
saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum
sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di depan
stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya
dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya
mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur
dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun
berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke
markas , Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum
lebih lanjut.,Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya , suara
amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin diteriakkan
berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh
menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala
kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan
..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo
heh..ngawur..ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa ,
ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak
balik.
“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu
tidak lepas saja sinuwun..biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia ,
ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada
bicaranya.
“ Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa
dia ..ojo kaku kaku , kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini
bisa panjang , bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala
polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia
lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk
menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala)
kedengarannya.
Kepala polisi pekalongan berusaha mencari
tahu dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain?
Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat
ini yang demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak
kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi
pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan
rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah , Brigadir Royadin
bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak
teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya
akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam dinas ,
seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang
memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa
polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam
selembar surat.
“Royadin….minggu depan kamu diminta
pindah !” lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan
menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini,
karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!”
pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi
pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan
– Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu
pindah tugas kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak
komisaris , disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir
Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan
tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja ,
sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan
menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta
kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri
sultan hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar , namun
ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang
besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh
hidupnya di kota pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin
meninggalkan kota ini .
“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya
berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah
kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan
sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !”
Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun
Sultan HB IX , Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun
penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban
ketegasannya.
July 2010 , saat saya mendengar kepergian
purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik dari keluarga
dipekalongan , saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar
kepergiannya . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja
mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang
berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip
kepada keturunannya , sekaligus kepada saya selaku keponakannya.
Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa
baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang
selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin,
Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan
Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari
sabang sampai merauke.
Depok June 25′ 2011
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid
Update terakhir tentang penulis artikel:
Bp Aryadi Noersaid saat ini tinggal di Depok, Saya sempat konfirmasi
via SMS kepada penulis untuk memastikan dan meminta comment atau
pernyataan dari beliau.
Setelah menunggu beberapa waktu saya
mendapat respon dari Bp Aryadi Noersaid. Saya copy dari comment beliau.
dan terima kasih pak respon kilatnya:
Aryadi Noersaid (aryadi17@yahoo.com)
0 comments:
Post a Comment