Rahasia Kebahagiaan Rumah Tangga Rasulullah SAW

  1. Pendahuluan
Sebuah pepatah untuk para suami mengatakan, “Jika kamu ingin istrimu menjadi seperti Khadîjah, maka jadilah kamu seperti Muhammad untuknya!” Nabi kita Saw. memang merupakan teladan ideal tentang bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan istrinya. Ada suami yang habis-habisan memaki istrinya hanya karena sang istri terlambat menyiapkan makan. Ada lagi suami memukul istrinya cuma karena sang istri tidak membuatkan secangkir teh untuk sang suami. Di tempat lain seorang istri harus rela ditampar suami hanya karena si istri terlalu banyak menambahkan garam pada makanan yang dibuatnya.
Kejadian-kejadian ini mengabarkan hubungan yang tidak sehat antara suami dan istri. Pangkal dari ketidaksehatan hubungan itu adalah dominasi dan superioritas suami atas istri. Tidak sedikit suami yang membebani istrinya dengan tugas-tugas melebihi kemampuannya dengan dalih bahwa kewajiban istri adalah taat terhadap semua perintah suami. Banyak kaum suami hanya melihat hak-hak di tangannya tanpa memperhatikan kewajiban-kewajiban di pundaknya.
Sesungguhnya, untuk keluar dari kemelut rumah-tangga, untuk terbebas dari belitan disharmoni suami-istri, hanya satu solusi yang tersedia. Yaitu meneladani sunnah Nabi dalam mengelola dan menakhodai kehidupan rumah-tangganya. Ucapan, tindakan, serta sikap Nabi dalam membina dan mengelola rumah-tangganya merupakan contoh terbaik bagi para suami, kapan dan di mana pun.
Tulisan ini, selain diharapkan menjadi pencerahan dan panduan bagi para suami dalam memperlakukan para istri, juga terutama merupakan seruan bagi para pengritik dan penuduh Nabi yang masih saja mempersoalkan jumlah istri beliau. Kepada mereka bab ini hendak berkata, “Mengapa kalian masih saja berkutat menyoal perkawinan Nabi dengan banyak istri? Ketimbang hanya mempergunjingkan soal jumlah istri serta motif di balik pernikahan beliau, setidaknya lihatlah sisi lain dari rumah-tangga Nabi; bagaimana harmoni yang beliau bangun dengan para istrinya, seperti apa perlakuan dan sikap yang beliau kembangkan terhadap mereka, dan banyak lagi seluk-beluk yang perlu digali pada sisi ini. Yang jelas, semua pembahasan tentang aspek ini akan bermuara pada satu simpulan; Sang Nabi adalah teladan terbaik.”
  1. Akhlak Rasulullah Saw. terhadap Para Istrinya
Berikut beberapa perilaku santun dan perangai mulia Baginda Nabi dalam berumah tangga:
  1. Lembut dan Penuh Kasih
Rasulullah Saw. adalah seorang suami yang sangat meninggikan kedudukan para istrinya dan amat menghormati mereka. ‘Â`isyah bercerita tentang hal ini:
Sekelompok orang Habasyah masuk masjid dan bermain di dalamnya. Ketika itu Rasulullah Saw. berkata kepadaku, “Wahai Humayrâ`, apakah kamu senang melihat mereka?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau berdiri di pintu rumah. Aku menghampirinya. Kuletakkan daguku di atas pundaknya dan kusandarkan wajahku ke pipinya. Di antara ucapan mereka (orang-orang Habasyah) waktu itu, ‘Abû al-Qâsim (Rasulullah) orang baik.’ Lalu Rasulullah berkata, “Cukup.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, jangan tergesa-gesa.” Beliau pun berdiri lagi untukku. Kemudian beliau berkata lagi, “Cukup.” Aku berkata, “Jangan tergesa-gesa, ya Rasulullah.” Bukan melihat mereka bermain yang aku suka, melainkan aku ingin para perempuan tahu kedudukan Rasulullah bagiku dan kedudukanku dari beliau.”[1]
Bayangkan seorang istri berdiri di belakang suaminya untuk melindunginya. Kemudian sang istri meletakkan dagunya di pundak sang suami, wajah sang istri menempel di pipi sang suami. Sang istri meminta sang suami berdiri lebih lama untuknya. Mereka berdiri di pintu rumah sambil memerhatikan orang-orang yang sedang bermain di masjid depan rumah. Kemudian sang istri bertutur, “Sesungguhnya bukan orang-orang yang sedang bermain itu yang menarik perhatianku. Bukan pemandangan itu yang membuatku ingin berlama-lama berdiri di sini bersama suami. Aku hanya ingin para istri tahu kedudukanku bagi suamiku dan kedudukan suamiku bagiku.” Bersama itu, sang suami dengan sabar memenuhi permintaan sang istri terkasih, demi cinta padanya dan guna menjaga perasaannya.
Betapa pun banyak dan beratnya tanggung jawab yang harus dipukul Sang Rasul, beliau tidak pernah lupa akan hak-hak para istrinya. Beliau memperlakukan mereka dengan amat lembut dan penuh kasih. Tidak pernah sedikit pun beliau mengurangi hak mereka. Beliaulah yang dalam salah satu haditsnya bersabda, “Kaum perempuan (para istri) adalah saudara kandung kaum laki-laki (para suami).”[2]
Hadits ini menjadi dalil bahwa beliau tidak pernah menganggap kecil kedudukan para istrinya. Beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang setara dengan beliau dan memposisikan mereka pada posisi yang agung. Bagaimana tidak, pada diri seorang istri tersandang sejumlah predikat mulia: ibu, istri, saudara perempuan, bibi, dan anak perempuan.
  1. Pengakuan di Depan Publik
Pada saat banyak suami menganggap bahwa sekadar menyebut nama istri di depan orang lain dapat mengurangi harga diri, kita mendapati Rasulullah justru menampakkan cintanya pada para istrinya di depan umum. Shafiyah binti Huyay mendatangi Rasulullah saw. sewaktu beliau beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian ia berbincang dengan beliau beberapa waktu. Ia berdiri untuk pulang. Rasulullah pun ikut berdiri mengantarkan Shafiyah pulang. Ketika Shafiyah dan Rasulullah sampai di depan pintu Ummu Salamah, dua orang Anshâr lewat dan memberi salam kepada Rasulullah. Kepada dua orang Anshâr itu beliau bersabda, “Perhatikanlah baik-baik oleh kamu berdua, dia ini tidak lain Shafiyah binti Huyay.”[3]
  1. Tempat Bersandar di Kala Susah
Nabi Saw. adalah suami yang sangat memahami kondisi para istrinya, baik kondisi fisik maupun psikis. Dua kondisi ini dari satu waktu ke lainnya dapat berubah-ubah. Nabi Saw. sangat pandai memahami hal itu terhadap para istrinya. Maymûnah, salah satu istri Nabi, berkata, “Suatu kali Rasulullah mendatangi salah seorang dari kami. Salah seorang dari kami itu sedang haid. Maka beliau meletakkan kepalanya di dada istrinya yang sedang haid itu, lalu beliau membaca al-Qur`an.”[4]
Pada kali lain, Rasulullah Saw. berupaya begitu rupa menenangkan salah satu istrinya yang sedang mengalami tekanan batin. Pada suatu hari, beliau mendatangi Shafiyah binti Huyay. Beliau menemukan Shafiyah sedang menangis. Kepadanya beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyah menjawab, “Hafshah berkata bahwa aku anak orang Yahudi.” Beliau berkata, “Katakan padanya, suamiku Muhammad, ayahku Hârûn, dan pamanku Mûsâ!”[5]
Terlihat bagaimana Baginda Nabi menyelesaikan masalah dengan kata-kata sederhana namun mengandung makna yang dalam.
  1. Selalu Siaga Membantu Para Istri
Pada saat banyak suami yang enggan sekadar membantu istrinya karena dianggap dapat menurunkan reputasi sang suami, kita dapati Rasulullah Saw. tidak pernah terlambat membantu para istrinya. ‘Â`isyah pernah ditanya tentang apa yang dilakukan Nabi Saw. di rumahnya? Ia menjawab, “Beliau selalu melayani (membantu) istrinya.”[6]
  1. Bermusyawarah Sebelum Mengambil Keputusan
Di kala banyak suami memandang istrinya kurang akal dan agama, Rasulullah yang mulia tidak pernah segan atau merasa keberatan mendengar serta mengambil pendapat istrinya. Ini terlihat ketika beliau meminta pendapat Ummu Salamah dalam perjanjian Hudaybiyah. Waktu itu beliau memerintahkan para sahabat untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan kurban, namun mereka tidak mau melakukannya. Melihat respon para sahabat tersebut, Baginda Nabi masuk ke tenda Ummu Salamah. Begitu beliau menceritakan kepada Ummu Salamah apa yang beliau terima dari para sahabat, Ummu Salamah langsung mengajukan pendapat yang cerdas. Ia berkata: “Keluarlah, ya Rasulullah, kemudian engkau bercukur lalu potong hewan kurban lalu!” Beliau pun keluar dari tenda, bercukur lalu memotong kurban. Melihat hal itu, sontak para sahabat bangkit; mereka serempak bercukur lalu memotong hewan kurban.[7]
  1. Tetap Santun Meski Saat Marah
Di kala tidak sedikit para suami yang ringan tangan kepada para istri saat mereka melakukan kesalahan, kita mendapati Sang Nabi tetap bijak, lembut, dan santun dalam memperlakukan para istrinya saat terjadi silang-pendapat atau perselisihan antara beliau dan mereka. Ketika kemarahan beliau agak tinggi, maka pergi menjauhi istri untuk sementara waktu menjadi pilihannya. Tidak pernah beliau menampar satu pun dari istrinya. Beliau menjauhi para istrinya pada saat mereka mendesaknya menuntut nafkah.
Bahkan ketika Rasulullah berniat mencerai salah satu istrinya, kita mendapati beliau tetap santun, lembut dan penuh kasih. Sawdah binti Zam’ah yang sudah tua, tidak cantik, dan berbadan gemuk, merasa bahwa jatahnya dari hati Rasulullah hanya rasa kasihan, bukan cinta. Rasulullah pun kemudian berpikir untuk menceraikan Sawdah secara baik-baik guna membebaskannya dari keadaan yang dianggap membebaninya dan memberatkan hatinya. Dengan sabar Rasulullah menunggu sikap dan jawaban Sawdah atas niat beliau untuk menceraikannya.[8]
Kesantunan, kesabaran dan keterkendalian diri Nabi saw. tetap terpelihara, bahkan ketika ujian terberat menerpa dan mengguncang rumah tangga beliau, yaitu saat terjadi apa yang disebut hâdits al-ifk. Sikap Nabi kala itu sungguh merupakan teladan bagi setiap Muslim. Ketika hâdits al-ifk ini tersebar, dengan kelembutannya yang khas dan tidak pernah luntur, Rasulullah berbicara kepada ‘Â`isyah:
Amma ba’d. Wahai ‘Â`isyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku tentangmu begini dan begitu. Jika kamu bebas (tidak melakukannya), maka Allah akan membebaskanmu, dan jika kamu pernah melakukan dosa maka mohonlah ampun kepada Allah dan tobatlah kepada-Nya.[9]
Sampai akhirnya Allah menurunkan ayat pembebasan yang membuat tenang dan gembira hati Nabi, ‘Âisyah dan kaum Muslim semuanya.
Meski Rasulullah saw. memiliki kedudukan yang agung dan posisi yang tinggi serta memanggul tugas mengurus umat Islam seluruhnya, namun kelembutan dan kesantunan beliau dalam memperlakukan para istrinya sungguh mengagumkan. Tidak seperti kebanyakan suami yang sering menjadikan kesibukan kerja dan urusan-urusan di luar rumah sebagai dalih kurangnya perhatian terhadap para istri mereka. Perlu diingatkan bahwa berperilaku baik terhadap istri bukan hanya tidak menyakitinya, tapi juga siap menerima perlakuan kurang baik darinya serta tetap lembut terhadapnya ketika ia marah.
  1. Romantika dan Harmoni Rumah Tangga Nabi Saw.
Dalam rangka memuliakan, menghormati dan menggembirakan istri, Nabi Saw. menjelaskan kepada umatnya bahwa bercanda-ria dan bersenda-gurau (bermesraan) dengan istri termasuk perbuatan berpahala bagi suami. Beliau bersabda, “Segala yang melalaikan seorang Muslim adalah batil, kecuali memanah, melatih kuda, dan bercanda-ria dengan istri; ini semua termasuk kebenaran.”[10]
Perhatikan bagaimana Rasulullah Saw., pemimpin besar umat Islam, pengemban risalah agung kemanusiaan yang hati dan pikirannya tercurah memperjuangkan kebaikan umat serta kejayaan Islam, adalah seorang suami yang romantis. Tangannya yang mulia nan suci tidak segan-segan menyuapi para istrinya. Dituangkannya air ke dalam cangkir lalu diberikannya pada istrinya. Suatu hari beliau menjenguk salah satu sahabatnya yang sedang sakit. Kepadanya beliau bersabda, “Bahkan suapan yang kamu angkat ke mulut istrimu, itu bernilai sedekah untukmu.”[11]
Betapa indah Islam. Sungguh menyeluruh ajaran-ajarannya. Memang hanya suapan. Namun ia mendekatkan pasangan suami-istri sehingga satu sama lain saling merasa nyaman dan tenang berada di sisi pasangannya. Memang hanya suapan. Tetapi ia dapat memantik cinta dan kasih-sayang di antara suami-istri. Memang hanya suapan. Tapi ia menorehkan senyum di bibir suami-istri yang saling menyayangi. Memang hanya suapan. Namun rasa sehati dan sehaluan yang ditimbulkannya menularkan romantika dan harmoni antara suami-istri.
Lihatlah Baginda Rasul, bagaimana beliau minum satu gelas dengan para istrinya. Dengarkan penuturan ‘Â`isyah berikut:
Aku minum, ketika itu aku sedang haid, lalu aku memberikannya kepada Nabi Saw. Beliau meletakkan mulutnya pada tempat (bekas) mulutku lalu minum. Aku menggigit daging, ketika itu aku sedang haid, lalu memberikannya kepada Nabi Saw. Beliau meletakkan mulutnya pada tempat (bekas) mulutku.[12]
Sungguh indah apa yang diperagakan Sang Nabi. Sungguh mengagumkan apa yang beliau teladankan untuk umatnya. Pribadi agung dan mulia itu tidak canggung menunjukkan cinta dan kemesraannya terhadap para istrinya.
“Ritual” lain yang kerap Nabi Saw. lakukan terhadap istri-istrinya dalam rangka memupuk romantisme dan harmoni rumah tangga adalah mengecup istri. Dalam keadaan puasa pun beliau mengecup ‘Â`isyah. Ia bertutur, “Rasulullah Saw. mendekatiku untuk mengecupku. Aku katakan bahwa aku sedang berpuasa. Beliau bersabda, ‘Aku juga sedang berpuasa.’ Beliau menghampiriku lalu mengecupku.”[13]
Kemudian, bagi Nabi Saw. yang mulia dan agung, membantu mengerjakan tugas-tugas rumah tangga bukanlah perbuatan yang menurunkan harkat dan martabat beliau, justru memperteguh keluhuran akhlak beliau. Perhatikan bagaimana junjungan alam, pemimpin umat Islam, dan pemuka seluruh manusia itu tidak pernah merasa malu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, membantu para istrinya, memperbaiki sandalnya, menjahit sendiri pakaiannya, mengolah bahan makanan dan lain sejenisnya. Alih-alih merendahkan derajat sang suami, hal itu justru memperteguh tali kasih pasangan suami-istri. Hal itu juga akan mematri perasaan istri bahwa sang suami penuh perhatian, peduli, dan siaga dalam membantu meringankan tugas-tugas dirinya.
Maka, bagi pribadi Nabi Saw. yang seperti digambarkan di atas, bukan perkara berat untuk melakukan kerja-sama dengan para istrinya dalam urusan-urusan ‘ubudiyah seperti shalat, sedekah serta kewajiban dan amal-amal sunnah lainnya, seperti kerja-sama (saling membangunkan) untuk shalat malam. Beliau pernah bersabda:
Allah merahmati seorang suami yang bangun malam lalu shalat lalu membangunkan istrinya, kemudian istrinya juga shalat. Jika istrinya enggan bangun, ia memercikan air ke wajahnya. Allah merahmati seorang istri yang bangun malam, lalu shalat lalu membangunkan suaminya, kemudian suaminya juga shalat. Jika suaminya enggan bangun, ia memercikan air wajahnya.[14]
Beliau juga bersabda:
Subhânallâh. Fitnah apa yang telah diturunkan malam ini dan rahmat apa yang telah diturunkan. Siapa lagi yang akan membangunkan para penghuni kamar-kamar (istri-istri)? Duhai, betapa banyak yang berpakaian di dunia tapi telanjang di akhirat.[15]
Hadits di atas mengandung beberapa pelajaran, di antaranya himbauan agar para suami membangunkan istrinya di malam hari untuk beribadah. Indah sekali sepasang suami-istri bangun malam hari. Keheningan suasana menambah ketenangan dan ketenteraman jiwa mereka. Di hadapan Sang Pencipta keduanya meratakan dahi, rukuk, sujud mengakui kelemahan diri, menyatakan kepasrahan total pada Sang Mahakuasa. Kedua tangan mereka lalu menengadah memohon yang terbaik dari Yang Mahabaik. Airmata mereka meleleh memastikan ketulusan doa dan asa yang mereka panjatkan pada Yang Maha Pengabul doa.
‘Â`isyah menceritakan sepotong kisah indah bersama Rasulullah saw.:
Pada suatu malam, ketika beliau tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, beliau berkata, “Ya ‘Â`isyah, izinkan aku beribadat kepada Tuhanku.” Aku berkata, “Aku sesungguhnya senang merapat denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadat kepada Tuhanmu.” Beliau bangkit mengambil ghariba lalu berwudhu. Ketika berdiri shalat, kudengar beliau terisak-isak menangis. Kemudian beliau duduk membaca al-Qur`an, juga sambil menangis sehingga airmatanya membasahi janggutnya. Ketika beliau berbaring, airmata mengalir lewat pipinya membasahi bumi di bawahnya. Pada waktu fajar, Bilâl datang dan masih melihat Rasulullah Saw. menangis. Bilâl bertanya, “Mengapa Anda menangis padahal telah Allah ampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang kemudian?” Beliau menjawab, “Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur. Aku menangis karena malam tadi turun surat Âli ‘Imrân ayat 190-191. Celakalah orang yang membaca ayat ini dan tidak memikirkannya.”[16]
Bagi ‘Â`isyah, seluruh perilaku Rasulullah Saw. mempesonakan. Dia mengutip saat ketika Rasulullah Saw., junjungan alam, manusia paling mulia, meminta izin kepadanya untuk beribadat di tengah malam. Bagi ‘Â`isyah, istri Rasulullah Saw., pada permintaan izin itu terkandung penghormatan, perhatian, dan kemesraan. Apa lagi yang lebih indah yang diperoleh seorang istri dari suaminya selain itu? [17]
Di luar itu, kehidupan Rasulullah Saw. amatlah sederhana, meskipun Allah memudahkan bagi kaum Muslim mendapatkan banyak ghanîmah. Dua kejadian berikut menjadi bukti akan kesederhanaan dan kebersahajaan beliau: Pertama, kejadian îlâ`. Ketika kaum Muslim mengalami banyak kemenangan, ghanîmah dan harta, para istri Nabi Saw. menuntut beliau sedikit menambah income buat belanja rumah-tangga mereka. Mereka ingin ada sedikit perubahan, dari hidup miskin dan sulit menjadi sedikit berkecukupan dan lapang. Tuntutan ini cukup membuat Nabi Saw. terganggu. Ketika Abû Bakr dan ‘Umar tahu hal ini, keduanya mendatangi putri masing-masing. Kepada putri-putrinya Abû Bakr dan ‘Umar mengingatkan bahwa Nabi Saw. tidak berkenan dengan tuntutan mereka. Sedangkan istri-istri Nabi Saw. yang lain, Abû Bakr dan ‘Umar tidak campur tangan terhadap mereka. Maka mereka pun tetap menuntut tambahan. Mereka menilai tuntutan itu wajar, terlebih kebanyakan orang Islam waktu itu hidup berkecukupan. Mereka juga menguatkan tuntutannya dengan alasan bahwa mereka selama ini sudah sabar menjalani kemiskinan, kekurangan dan kesulitan hidup. Maka setelah Allah mengkaruniakan harta dan ghanîmah yang melimpah kepada umat Islam, mereka pikir kini saatnya menghentikan kemiskinan, kekurangan dan keserbasempitan.
Nabi Saw. benar-benar terganggu dengan tuntutan para istrinya itu. Sampai-sampai beliau menjauhi mereka dan enggan bicara dengan mereka selama sebulan penuh, hingga tersebar rumor di tengah-tengah masyarakat bahwa beliau telah mencerai mereka.
Kedua, kasus takhyîr (tawaran opsi). Kejadian ini merupakan kelanjutan kejadian îlâ` (tuntutan istri-istri Nabi Saw.) di atas. Ketika para istri Nabi Saw. tetap dengan tuntutan mereka, Allah kemudian menurunkan ayat:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar” (QS al-Ahzâb/33: 28-29).
Kepada para istrinya, Nabi Saw., mengajukan dua opsi: hidup bersama beliau dalam kemiskinan dan kesederhanaan, atau hidup tanpa beliau dalam keserbaadaan dan kelimpahan. Kepada ‘Â`isyah beliau berkata, “Bermusyawarahlah dengan kedua orangtuamu, jangan terburu-buru dalam urusan ini!” ‘Â`isyah segera menjawab, “Apakah aku harus bermusyawarah tentang Allah dan Rasul-Nya, ya Rasulullah?” Seperti diketahui, semua istri beliau pada akhirnya memilih Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat dalam kesederhanaan, kemiskinan, kesempitan dan kesulitan dunia. Sejarah menjadi saksi bahwa tidak ada minyak untuk menyalakan lampu di rumah Nabi Saw. pada hari beliau dipanggil Yang Mahakuasa.[18]
Jika bukan seorang nabi, terbayangkah ada orang bisa hidup seperti itu? Orang yang benar-benar mencermati hal ini dan mempelajari sîrah Nabi Saw., terutama kehidupan rumah-tangga beliau, tidak akan sampai menuduh beliau Saw. sebagai seorang pengumbar syahwat dan pencari kepuasan materil.
  1. Kunci Kebahagian dalam Rumah Tangga
Dalam al-Qur`an, kata paling tepat menggambarkan kebahagiaan adalah aflaha. Kata ini adalah derivasi dari akar kata falâh. Kata falâh memiliki banyak arti seperti kemakmuran, keberhasilan, pencapaian apa yang kita inginkan atau kita cari, sesuatu yang dengannya kita berada dalam keadaan baik, menikmati ketenteraman, kenyamanan, kehidupan yang penuh berkah, keabadian, kelestarian, terus-menerus, keberlajutan.[19]
Rincian makna falâh ini sejatinya merupakan komponen-komponen kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya ketenteraman dan kenyamanan saja. Kenyamanan atau kesenangan satu saat saja tidak melahirkan kebahagiaan. Mencapai keinginan saja tidak dengan sendirinya memberikan kebahagiaan. Kesenangan dalam mencapai keinginan biasanya bersifat sementara. Satu syarat penting harus ditambahkan, yakni kelestarian atau menetapnya perasaan itu dalam diri kita.[20]
Kebahagiaan merupakan tujuan hidup. Kata-kata singkat ini memiliki cakupan makna dan wilayah yang amat luas. Maknanya sudah dipaparkan di atas. Wilayahnya seluas kehidupan itu sendiri dengan segala aspek dan bidangnya, tidak terkecuali aspek kehidupan berumah tangga. Pada setiap aspek kehidupan, pangkal kebahagiaannya adalah agama. Agama mengajarkan bahwa pembentukan keluarga, menjaga kesucian diri, dan melahirkan anak-keturunan yang saleh merupakan tujuan utama berumah tangga.
Keputusan untuk membangun mahligai rumah tangga merupakan keputusan yang penting dan determinan. Sebelum diambil, keputusan ini harus ditimbang matang matang. Seseorang terlebih dahulu harus mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkannya, dan hal apa saja yang sejalan dengan karakteristik dirinya. Hidup berumah tangga bukan hanya meniscayakan cinta, tetapi juga tanggung jawab besar yang menghajatkan persiapan serta kesiapan dalam segala aspek.
Rumah tangga adalah hubungan abadi bertujuan membangun keluarga dan mencetak generasi unggul. Maka ia harus bertopang pada banyak pondasi yang kuat. Pondasi yang pertama dan utama adalah agama. Oleh karena itu Rasul Saw. bersabda, “Pilihlah wanita beragama (salehah), maka kamu akan bahagia.”[21]
Kebaikan akhlak dan keunggulan moral harus menjadi asas bagi kehidupan berumah tangga. Sabda Nabi Saw., “Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah (anak perempuan kalian) dengannya.”[22]
Hal lain harus tersedia dalam rumah tangga adalah takâfu` (kesetaraan) antara dua pihak dalam segala bidang; sosial, budaya, keilmuan, pemikiran, dan lainnya. Artinya, harus ada common spaces yang mempersatukan dua pihak serta memungkinkan keduanya membangun mahligai rumah tangga idaman. Takâfu` memberi harapan besar akan adanya suasana saling menghormati, saling memahami serta pola interaksi yang sehat dan setara. Selain takâfu`, sikap lapang dan mau membuka telinga merupakan unsur penting dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Patokan, kaidah, prasayarat, aturan dan lain sebagianya yang harus tersedia dalam membangun rumah tangga satu sama lain haruslah berjalan seiring serta tertata secara sinergis. Keelokan rupa harus dipadukan dengan keindahan agama serta keluhuran akhlak. Pun demikian kaidah-kaidah lainnya, masing-masing tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Sabda Nabi Saw.:
Tidaklah seorang Mukmin mendapatkan sesuatu yang lebih baik setelah takwa kepada Allah selain istri salehah. Jika ia memerintahnya, ia (istri) menaatinya. Jika ia memandangnya, ia (istri) membuatnya senang. Jika ia memberinya sesuatu, ia (istri) menggunakannya dengan baik. Dan jika ia tidak bersamanya, ia (istri) dapat menjaga dirinya dan harta suaminya.[23]
Sesungguhnya kehidupan berumah-tangga ibarat sebuah perusahaan patungan. Para pemilik sahamnya adalah suami dan istri. Keduanya bertemu dan bersatu pada akad yang butir-butirnya diambil dari al-Qur`an dan Sunnah. Akad dan kesepakatan mereka disaksikan oleh para malaikat langit dan bumi serta orang-orang di sekitar mereka berdua. Semesta pun ikut bergembira atas tercapainya akad ini.
Allah Swt. berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang (QS al-Rûm/30: 21).
Cinta layaknya bayi yang masih menyusu; perlu orang yang memerhatikan, mengasuh dan menjaganya supaya tetap sehat dan ceria. Jika tidak, ia akan lemah, layu, lalu tak bernyawa. Atas kuasa dan kehendak-Nya, kehidupan suami-istri menjadi sumber kasih-sayang, ketenangan dan ketenteraman. Ini sudah menjadi undang-undang Tuhan. Namun, bagaimana melaksanakan undang-undang itu dalam kehidupan?
Jangan pernah menduga mewujudkan kebahagiaan berumah-tangga semudah membalik telapak tangan atau seringan mengangkat cangkir berisi minuman. Ia meniscayakan sejumlah jalan dan langkah. Berikut beberapa tips menjadikan rumah tangga nyaman, aman dan tenteram:
  1. 1.   Usir Setan dari Rumah
Ini mungkin terdengar menggelikan. Tapi maknanya sangat dalam dan luas. Jika rumah dirancang untuk menjadi tempat istirahat yang nyaman dan tenteram, maka tidak mungkin itu bisa tercapai jika setan berada di dalamnya. Maka usirlah musuh yang jahat dan licik ini. Cara mengusirnya: Pertama, mengingat Allah saat masuk rumah dengan setidaknya mengucap bismillah. Setan tidak bisa bertahan pada tempat di mana nama Allah disebutkan. Ucapkan juga assalamu’alaikum. Firman Allah:
Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik (QS al-Nûr/24: 61).
Selain bismillâh dan salam, banyak doa-doa yang diajarkan agama untuk dibacakan saat memasuki rumah. Di sini bukan tempatnya untuk menunjukkan doa-doa itu. Cukuplah diingat bahwa menyebut dan mengingat Allah mencegah masuknya setan ke rumah.
Kedua, menyebut (mengingat) Allah saat makan dan minum. Sabda Nabi Saw.:
Apabila seseorang masuk ke rumahnya dan menyebut nama Allah saat memasukinya dan saat makannya, maka setan berkata (kepada sesamanya), “Tidak ada tempat tinggal dan tidak ada makanan bagi kalian.” Dan apabila ia masuk ke rumahnya tapi tidak menyebut nama Allah ketika memasukinya, maka setan berkata (kepada sesamanya), “Kalian menemukan tempat tinggal.” Dan apabila ia tidak menyebut nama Allah ketika makan, maka setan berkata (kepada sesamanya), “Kalian menemukan tempat tinggal dan makanan.”[24]
Ketiga, banyak membaca al-Qur`an, terutama surat al-Baqarah tiga malam sekali. Sabda Rasulullah Saw., “Jangan jadikan rumah-rumah kalian (seperti) kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah.”[25]
Keempat, membersihkan rumah dari ucapan, perbuatan dan benda-benda yang dapat menjauhkan kita dari Allah. Hal-hal demikian dapat mengusir malaikat dan mendatangkan setan.
  1. Datangkan Malaikat ke Rumah
Bagaimana mendatangkan malaikat ke rumah kita? Pertama, bersihkan rumah dari gambar-gambar tidak senonoh dan patung. Nabi Saw. bersabda, “Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada patung dan gambar.” [26]
Kedua, bersihkan rumah dari anjing. Rasul Saw. bersabda, “Malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.”[27]
  1. Memohon Perlindungan dari Jiwa yang Jahat
Agama kita memerintahkan untuk memohon perlindungan, pagi dan sore hari, dari kejahatan jiwa. Dalam hal ini, di antara doa Nabi Saw. adalah:
Ya Allah, Yang Mahatahu yang gaib dan yang nyata, Pencipta langit dan Bumi, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Engkau. Aku memohon perlindungan dari kejahatan diriku dan dari kejahatan setan serta kemusyrikannya.[28]
Nabi Saw. mengajari kita memohon perlindungan dari kejahatan diri sendiri sebelum kejahatan setan. Allah Swt. berfirman:
Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang (QS Yûsuf/12: 53).
Tutur santun dan perangai terpuji suami-istri dipadu dengan doa-doa perlindungan di pagi dan sore hari. Keberkahan dan keselamatan tiada henti diharapkan.
  1. Tahan Emosi dan Kendalikan Diri
Pada titik ini banyak pasangan suami-istri mengalami kesulitan, bahkan kegagalan. Efeknya, tekanan dan lara batin muncul, disusul terganggunya kejiwaan anak karena seringnya melihat orangtua bertengkar dan memperagakan ketidakharmonisan.
Nabi Saw. melarang kita marah. Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah Saw., “Nasihati aku!” Beliau bersabda, “Jangan marah.” Beliau mengucapkannya sampai tiga kali.”[29] Sabdanya yang lain, “Permudahlah jangan mempersulit. Apabila salah seorang dari kalian marah maka diamlah.”[30]
Marah itu manusiawi. Semua bisa marah. Yang dituntut adalah mengendalikan dan menahan marah, bukan memperturutkan dan mengumbarnya. Kemarahan akan melahirkan kekisruhan jika ditimpali dengan kemarahan serupa. Jika masing-masing pandai menahan diri, atau setidaknya salah satu mengekang diri, kekisruhan tidak akan muncul dan rumah tangga tidak terguncang. Allah memuji orang yang sanggup menahan marah:
Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Âli ‘Imrân/3: 134).
Marah berefek negatif terhadap kesehatan jasmani. Maka jagalah kesehatan raga dengan memelihara kesehatan jiwa. Menahan marah terbukti menyehatkan jiwa. Ketika marah, darah dalam jantung bergolak, urat-syaraf ikut tegang, wajah dan mata memerah. Banyak marah dapat memancing beberapa ketidakberesan fisik seperti tekanan darah, arteriosclerosis, dan paralysis.
Menahan marah bukan hanya dengan diam, sementara anggota tubuh yang lain, terutama mata, berbicara banyak dengan kata-kata yang pedas dan kasar melebihi bahasa lisan. Mulut bisa saja tertutup saat marah, tapi sorot mata menyiratkan kata-kata sarat hinaan. Mulut boleh jadi terkunci. Tapi gemetarnya bibir menjelaskan bahwa jiwa bergejolak, hati panas penuh emosi. Ini tidak boleh terjadi. Bukan hanya mulut, semua anggota tubuh tidak boleh memberi sinyal kemarahan. Saat kemarahan datang, pejamkan mata dengan tenang, jangan mencari-cari pembenaran untuk kemarahan Anda.
Untuk semua kaidah, aturan, syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam mewujudkan rumah-tangga yang bahagia, Baginda Nabi adalah sosok ideal dan teladan dalam menerapkan semua itu. Maka tidak heran jika kemudian rumah-tangga beliau adalah rumah-tangga bahagia dalam arti yang sesungguhnya.
Di rumah Nabi dapat kita temui kesederhanaan, keindahan budi, keluhuran pekerti, dan kezuhudan materi meski—kalau beliau mau—mudah saja baginya memiliki dunia beserta isinya. ‘Umar bin al-Khaththâb sampai meneteskan airmata karena terharu melihat rumah Rasulullah Saw. hanya diperlengkapi ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang sudah menghitam. Beliau tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu.[31]
Siti ‘Â`isyah Umm al-Mu`minîn menuturkan kesederhanaan hidup bersama Rasulullah Saw., “Semenjak datang ke Madinah, keluarga Muhammad tidak pernah makan kenyang dari gandum (roti) selama tiga malam berturut-turut hingga beliau wafat.”[32]
Inilah pemimpin dan penglima besar umat Islam. Beginilah sebaik-baik makhluk itu menjalani hidup ini. Kenikmatan dunia tidak pernah terlintas di benaknya. Kemegahan dunia tidak pernah menjadi cita-citanya. Ia mengambil dari dunia sebatas yang dapat mengantarkannya pada kesejatian hidup dan kebahagiaan negeri akhirat. Untuk menahan lapar, Baginda Nabi acap-kali mengikatkan batu di perutnya sebagai ganjal.[33]
Pada suatu malam beliau keluar rumah. Di jalan beliau bertemu dengan Abû Bakar dan ‘Umar. Beliau bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat kalian keluar rumah di saat ini?” Mereka menjawab, “Lapar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Dan aku, demi Zat Yang jiwaku di Tangan-Nya, sungguh telah membuatku keluar rumah apa yang telah membuat kalian keluar rumah. Bangkitlah!” Mereka pun bangkit bersama Rasulullah, kemudian mendatangi rumah seorang laki-laki dari Anshâr. Tapi orang Anshâr itu tidak ada di rumahnya. Yang ada hanya istrinya. Wanita itu kemudian menemui mereka dan berkata, “Selamat datang.” Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Di mana suamimu?” Ia menjawab, “Ia pergi mencari air segar untuk kami.” Ketika itu laki-laki Anshâr datang. Dipandangnya Rasulullah dan dua orang sahabatnya (Abû Bakar dan ‘Umar), lalu berkata, “Alhamdulillah, tidak ada seorang pun hari ini yang memuliakan para tamu selain aku.” Lalu ia pergi dan kembali lagi sambil membawakan kurma mentah, kurma matang dan kurma kering, lalu berkata, “Makanlah ini!” Kemudian ia mengambil pisau. Rasulullah berkata padanya, “Tidak usah memerah susu.” Laki-laki itu lalu menyembelih kambing untuk mereka. Mereka pun makan daging, kurma dan minum. Setelah mereka kenyang dan segar karena cukup minum, Rasulullah Saw. bersabda kepada Abû Bakr dan ‘Umar, “Demi Zat Yang jiwaku di Tangan-Nya, kalian benar-benar akan ditanya tentang nikmat ini di hari kiamat. Lapar telah membuat kalian keluar rumah dan kalian belum pulang sampai kalian mendapat nikmat ini.”[34]
Hingga di sini, beberapa poin dapat kita tarik. Pertama, kepemilikan dunia sebenarnya tidak haram bagi siapa pun, termasuk Nabi Saw., asalkan sejalan dengan aturan Islam tentang kepemilikan. Bagi Nabi Saw. sendiri, kalau beliau mau, dunia dan seisinya merupakan perkara mudah untuk dikuasainya. Tapi beliau lebih memilih hidup sederhana, bukan karena mengharamkan dunia, melainkan karena ingin hidup merakyat; hidup seperti kebanyakan umatnya, merasakan derita mereka, akrab dengan lapar dan dahaga seperti mereka. Kedua, bagi Nabi Saw. dan para istrinya, sulitnya kehidupan materi sama sekali tidak membuat mereka tidak bahagia. Bagi para istri Rasul, predikat Umahât al-Mu`minîn (Ibunda Kaum Mukmin) yang mereka sandang sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tiada tara. Bagi mereka, menjadi pendamping Sang Nabi Saw. dalam berjuang menebarkan risalah Islam dan menegakkan kebenaran merupakan kebahagiaan tiada duanya.
Ketiga, dalam kejadian seperti dipaparkan sebelum ini, Nabi Saw. tidak lupa memanfaatkan kejadian tersebut untuk mengingatkan sahabat-sahabatnya akan akhirat; “Kalian benar-benar akan ditanya tentang nikmat ini di hari kiamat.” Bandingkan dengan kita. Kita nikmati berbagai rezki Allah; makanan, minuman, dan sebagainya. Tapi kita lupa bahwa nikmat apa pun akan ditanya (dimintai pertanggung jawabannya) kelak di hari perhitungan.
Seperti telah disinggung di atas, di sini kembali kita dengarkan ‘Umar bercerita tentang kesederhanaan hidup Nabi Saw. ‘Umar berkata:
Aku masuk rumah Rasulullah Saw. Ketika itu beliau sedang tidur di atas tikar kasar. Tidak ada antara tubuh beliau dan tikar itu kasur. Bekas tikar kasar terlihat di pipinya. Kepalanya bersandar pada bantal dari kulit yang sudah disamak. Kemudian kuarahkan pandanganku ke isi rumah beliau. Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu selain tiga lembar kulit yang belum disamak. Aku menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku jawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Kisrâ (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) adalah seperti adanya mereka (hidup mewah dan tinggal di istana megah), padahal engkau adalah Rasul Allah.” Aku katakan pada beliau, “Berdoalah kepada Allah, sehingga Dia memberi kelapangan atas umatmu! Sesungguhnya Persia dan Romawi, mereka diberi kelapangan dan diberi (kenikmatan) dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah.” Beliau bersabda, “Apakah kamu ragu, hai putra al-Khaththâb? Mereka adalah kaum yang telah disegerakan bagi mereka kenikmatannya di dunia.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, mohonkanlah ampun bagiku!”[35]
Namun demikian, Nabi Saw. adalah pribadi yang murah hati dan dermawan. Tidak salah jika dikatakan bahwa beliau adalah manusia paling murah hati dan paling ringan tangan dalam memberi. Seandainya perbendaharaan bumi ada di tangannya, pastilah beliau akan memberikannya pada siapa saja yang memerlukan dalam semalam saja. Pada suatu hari, para sahabat menemukan Nabi Saw. sedang memperbaiki sandal anak yatim; dan pada hari yang lain sedang menjahit pakaian kumal milik perempuan tua yang miskin. Beliau mengumpulkan sebagian sahabatnya yang miskin di sudut masjid. Beliau membagikan makanan sedikit yang dipunyainya untuk mereka, sehingga beliau sendiri tidak pernah makan kenyang selama tiga hari berturut-turut. Di antara penghuni sudut masjidnya itu adalah Abû Hurayrah, perantau dari Daus yang bekerja sebagai pelayan dari rumah yang satu ke rumah yang lain.[36]
Bercermin pada pribadi Nabi Saw., mengacu pada rumah tangga yang beliau bangun bersama para istri, terutama kebersahajaan serta kesederhanaannya dalam hal materi, maka sungguh salah fatal orang-orang yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada tumpukan harta, keliru besar orang-orang yang menyangka kebahagiaan ada pada kendaraan mewah, rumah megah, dan tabungan menggunung.
Kebahagiaan bukan terletak pada itu semua. Kebahagiaan sejati sebuah rumah tangga, seperti ditelandankan Sang Nabi, adalah rumah yang islami; para penghuninya tinggal dan hidup dalam zikrullah, dalam membaca ayat-ayat suci, dalam kebaikan dan kesalehan. Kebahagiaan terdapat pada saling memahami, kerjasama dan bahu-membahu dalam menunaikan tanggung jawab yang ada di pundak masing-masing dari suami-istri dalam jalinan kasih-sayang sejati, dalam rajutan cinta yang hakiki, dalam balutan kesetiaan berasaskan takwa dan kesalehan.
  1. Kesimpulan dan Saran
Muhammad Saw.—baik Muhammad sebagai manusia biasa (basyar), sebagai pengemban risalah (rasûl), sebagai pemimpin negara Madinah (imâm), sebagai panglima pasukan kaum Muslim (qâ`id), sebagai pemutus sengketa yang diajukan kepadanya (qâdhî), sebagai pemberi fatwa (muftî), dan sebagai apa pun yang pernah diperankannya selama ia hidup, keagungan dan kemuliaannya tidak terbantahkan. Dulu, orang-orang kafir Mekah menolak beriman kepada Muhammad bukan karena mereka mengingkari kebenaran yang dibawanya, bukan karena memungkiri keagungan pribadinya. Mereka enggan mengikuti seruan Muhammad karena ia mengajarkan ajaran-ajaran yang bertolak belakang dengan kepentingan mereka. Di mana-mana, kepentingan sering menggelapkan mata dari melihat dan menerima kebenaran yang sudah amat nyata, senyata matahari di siang hari.

[1] Ahmad bin Syu’aib al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Imiyah, cet. I, 1991, Jilid 5, hal. 307, hadits no. 8951.
[2] Lihat antara lain Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Mekkah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994, jilid 1, hal. 168, hadis no. 767; Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzî, al-Jami al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, jilid 1, hal. 189, hadis no. 113; Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Mu`assasah al-Risalah, cet. II, 1999, Jilid 43, hal. 264, hadis no. 26195, dan Ahmad bin Ali (Abu Ya’la) al-Tamimi, Musnad Abi Ya’la, Damaskus: Dar al-Ma`mun li al-Turats, cet. I, 1984, Jilid 8, hal. 149, hadis no. 4694.
[3] Baca antara lain al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi…, jilid 4, hal. 321, hadis no. 8381; Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami al-Shahih, Beirut & Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet. III, 1987, Jilid, 2, hal. 715, hadis no. 1930, dan Muhammad bin Hibban, Shahih Ibn Hibban, Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1993, Jilid 10, hal. 348, hadis no. 4497.
[4] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad…, jilid 44, hal. 391, hadis no. 26810.
[5] Baca antara lain Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, Kairo: Dâr al-Sya’b, cet. II, 1372 H, 16, hal. 326.
[6] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Dar al-Basya`ir al-Islamiyah, cet. III, 1989, jilid 1, hal. 190, hadis no. 538. Lihat juga al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi…, jilid 2, hal. 215, hadis no. 2989.
[7] Baca Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Ayy al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H., vol. 2, hal. 221.
[8] Lihat di antaranya ‘Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Muhallâ, Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, tt., vol. 10, hal. 192. Baca juga Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, vol. 8, hal. 266.
[9] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami al-Shahih, Beirut & Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet. III, 1987, jilid, 2, hal. 942, hadis no. 2518. Lihat juga Abu al-Husain Muslim al-Nisaburi, al-Jami al-Shahih (Shahih Muslim), Beirut: Dar al-Jail & Dar al-Afaq al-Jadidah, tt, jilid 8, hal. 112, hadis no. 7196.
[10] Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami al-Shahih; Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, tt, jilid 4, hal. 174, hadis no. 1637.
[11] Al-Bukhari, al-Jami…, jilid 5, hal. 2047, hadis no. 5039.
[12] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 1, hal. 168, hadis no. 718.
[13] Ibn Hanbal, MusnadAhmadjilid 43, hal. 345, hadis no. 26321.
[14] Ahmad bin Syuaib al-Nasa`î, Sunan al-Nasa`î al-Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1991, jilid 1, hal. 411, hadis no. 1300.
[15] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…,  jilid 4, hal. 487, hadis no. 2196.
[16]Ibrâhîm bin Muhammad al-Husaynî, al-Bayân wa al-Ta’rîf,Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1401 H, vol. 1, hal. 125.
[17]Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Bandung: Mizan, cet. XIV, 2003, hal. 203.
[18] Lebih jelasnya dapat dibaca antara lain Sulaymân bin Ahmad al-Thabrânî, al-Mu’jam al-Awsath, Kairo: Dâr al-Haramayn, 1415 H, vol. 8, hal. 326.   
[19] Lihat Jaluluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cet. II, 2004, hal. 24.
[20] Rakhmat, Meraih…, hal. 24-25.
[21] Al-Bukhari, al-Jami…, jilid 5, hal. 1958, hadis no. 4802.
[22]  Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…,  jilid 3, hal. 395, hadis no. 1085.
[23] Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, tt., jilid 1, hal. 596, hadis no. 1857.
[24] Abu Dawud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt., jilid 3, hal. 406, hadis no. 3767.
[25] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 2, hal. 188, hadis no. 1860.
[26] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 6, hal. 162, hadis no. 5667.
[27] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Beirut-Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet. III, 1987, jilid 4, hal. 1470, hadis no. 3780. Lihat juga Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 6, hal. 156, hadis no. 5636.
[28]Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…,  jilid 5, hal. 467, hadis no. 3392.
[29] Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal. 449, hadis no. 1402; Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi…, jilid 7, hal. 308, hadis no. 14577. Lihat juga Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…,  jilid 4, hal. 371, hadis no. 2020.
[30] Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Musnad Abi Dawud al-Thayalisi, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt., jilid 1, hal. 340, hadis no. 2608.
[31] Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, cet. XI, 2003, hal. 83.
[32] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 8, hal. 217, hadis no. 7633.
[33] Baca antara lain ‘Ali bin Abî Bakr al-Haytsamî, Majma’ al-Zawâ`id, Kairo-Beirut: Dâr al-Rayyân lî al-Turâts-Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1407 H, vol. 8, hal. 306. Lihat juga ‘Abdul’azhîm al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1417 H, vol. 4, hal. 96.
[34]Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 6, hal. 116, hadis no. 5434.
[35]Al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad,  jilid 1, hal. 398, hadis no. 1163. Baca juga al-Hakim al-Nisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1990, jilid 2, hal. 679, hadis no. 4244.
[36] Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Bandung: Mizan, cet. XIV, 2003, hal. 206.
sumber artikel :  http://abualitya.wordpress.com/2012/12/18/rahasia-kebahagiaan-rumah-tangga-rasulullah-saw/

0 comments:

Post a Comment